Harianterbit.com | Jumat, 05 September 2014
13:14:00 WIB | Dilihat : 3548
Istimewa
Jakarta, HanTer - Molornya realisasi
pembangunan tol jalur lingkar luar Jakarta 2 atau JORR 2 menjadi pekerjaan
rumah (PR) bagi Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden terpilih ketujuh yang
akan dilantik Oktober 2014 mendatang.
Pengamat Kebijakan Publik Iwan Piliang menegaskan bahwa Jokowi harus bisa merealisasikannya sebagai bagian dari mengurai kemacetan di Jakarta yang tak kunjung usai.
“Saat menjadi Gubernur Jakarta mungkin dia (Jokowi, red) belum bisa terlalu ‘memaksa’ terwujudnya tol ini, namun saat menjadi Presiden harus berani merealisasikan Tol JORR,” tegas Iwan kepada Harian Terbit, Kamis sore (4/9).
Jokowi menurut Iwan harus memutus hambatan-hambatan yang selama ini menjadi kendala, seperti mafia tanah, pelaku usaha yang ngawur dengan mengambil peluang namun tidak dijalankan setelah memenangkan tender, dan lain sebagainya.
“Padahal bila pembangunannya direalisasikan, maka akan terdapat multiplier efek, terserapnya tenaga kerja, ramainya warung-warung makan, dan lainnya. Ini yang harus diperhatikan juga, karena tol JORR 2 tak lain dibuat untuk mengurangi kemacetan yang sudah semakin menjadi di Jakarta,” imbuh pendiri Iwan Piliang Center (IPC) ini.
Dia menegaskan bahwa harus ada good wil dari pemerintah pusat. Walaupun telah keluar Perpres, namun bisa diubah. Karena bila tidak maka Jakarta akan stagnan. Begitu juga dengan seluruh stake holder harus mendukung sepenuhnya.
“Harus diakui bahwa selama ini terkendala oleh banyak instrument di bawah dan tingkat atas pun memiliki kepentingan, sehingga masalah ini tak selesai-selesai,” kata Iwan.
Menurut Iwan, saat ini pertumbuhan kendaraan dan pembangunan infrastruktur belum seimbang. Jumlah kendaran menyesaki infrastruktur jalan yang akhirnya menambah kemacetan yang luar biasa, khususnya di Jakarta.
Memindahkan Ibukota juga bukan solusi bagi kemacetan di Jakarta, karena sentra-sentra industri dan pusat bisnis sudah mantap sehingga sulit untuk dialihkan ke kota lainnya. Walaupun dengan dalih mencari tempat yang lebih tepat.
“Penyebab tidak jalannya pembangunan tol JOOR 2 harus dicari dan diselesaikan, untuk masa depan masyarakat luas juga,” ungkap Iwan.
Iwan juga menilai rencana penerapan electronic road pricing (ERP) tidak akan menyelesaikan masalah, namun hanya sebagai tambal sulam belaka, karena kemacetan tidak mudah diurai hanya dengan membayar saat melintasi jalan-jalan tertentu.
Seperti diketahui, tol JORR 2 merupakan jalan tol penghubung antara Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok, dan Bekasi. Hingga saat ini ada delapan ruas dari 17 yang direncanakan, namun belum terbangun.
Tol tersebut ada pada ruas akses Tanjung Priok sepanjang 12,1 kilometer (km), Cibitung-Cilincing 33, 9 km, Cinere-Jagorawi 14,6 km, Depok-Antasari 22,8 km, Serpon-Cinere 10,1 km, Kunciran-Serpong 11,2 km, dan Cengkareng-Kunciran sepanjang 15,2 km.
Diperkirakan untuk membangun satu km jalan tol menelan biaya Rp1 miliar. Total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp34 triliun. Bila dilihat kenyatannya, biaya tersebut memang tidaklah sedikit, namun menurut Iwan, bila dilakukan secara bertahap maka bisa direalisasikan.
Lebih lanjut, Iwan mengemukakan bahwa hal yang sering mengemuka pada saat akan dilakukan pembangunan infrastruktur tak terlepas juga pada pembangunan jalan tol, banyak sekali pihak-pihak yang ikut bermain untuk mendapatkan keuntungan sendiri atau golongan.
“Misalnya saja mulai dari Pemerintah Daerah (Pemda), Badan Pertanahan Nasional (BPN), bahkan kepolisian, dan insider lainnya yang menyatu dan menjadi konglomerasi insider dalam pembebasan tanah,” tutur Iwan.
Semua itu, menurut Iwan menjadi benang kusut dan harus dibenahi. Pemerintah pusat juga perlu ikut turut membenahi agar mafia tanah tidak lagi bebas berkeliaran dan menghambat rencana pembangunan tol JOOR 2.
“Mafia tanah harus masuk pidana, karena mereka biasanya berbuat curang mulai dari mengakali surat dari girik, surat segel, hingga sertifikat tanah. Mereka juga biasa disebut ular tanah yang mematikan,” jelas Iwan.
Pengamat perkotaan dan transportasi Universitas Indonesia, Ali Berawi menilai, pembangunan ruas jalan Tol JOOR 2 perlu dipercepat, bila perlu presiden mengeluarkan Surat Keputusan Presiden (Kepres) berkaitan percepatan pembangunan jalan tol. 13 ruas jalan tol yang masih mangkrak sedianya untuk mengurai kemacetan di Jakarta.
"Kalau mau dipercepat pakai Kepres lebih cepat, kalau memungkinkan 13 ruas jalan tol ini ditinjau efektifitas dilihat masalah kemacetan mobil jalan tol bukan solusi yang cukup efekti," kata Ali.
Menurutnya, pembangunan ruas jalan tol memang dapat mengurangi kemacetan, akan tetapi pertumbuhan kepadatan kendaraan akan mengikuti. "Macet berkurang pasti ini tetap meningkatkan pertumbuhan kepadatan mobil, ini akan bertambah macetnya," terangnya.
Ali mengimbau kepada pemerintah agar segera mempercepat pembangunan ruas tol yang masih mangkrak tersebut. Hal ini berlaku untuk ruas tol yang telah menjalani proses pembangunan, sedangkan untuk yang masih dalam perencanaan dia menyarankan untuk dipertimbangkan dan ditahan pengerjaannya.
"Kalau sudah tahap konstruksi segera diselesaikan kalau yang belum coba ditahan dipertimbangkan kembali, Kalau sudah investasi sampai 50 persen tetap harus dilanjutkan," desaknya.
Dia beranggapan, pembangunan ruas jalan tol di sejumlah wilayah di Jakarta bermuatan politis, hal ini dipengaruhi oleh bisnis dimana Indonesia merupakan pangsa pasar otomotif potensial.
Sehingga industri otomotif memengaruhi kebijakan mengenai perluasan jalan, karena bisnis otomotif tidak akan bergerak jika jalan sebagai sarana kendaraan pribadi sudah tidak memenuhi volume kendaraan. Dia mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam pemenuhan transportasi publik yang seharusnya menjadi prioritas utama.
"Ini kan keputusan politik apakah tetap konsisten publik transportasi pembangunan ruas jalan tol dipengaruhi kepentingan bisnis, Indonesia 'big market' industri otomotif," bebernya.
Lebih lanjut Ali mengimbau agar setiap kebijakan harus mempertimbangkan efek di kemudian hari, sehingga pembangunan yang berhubungan dengan perkotaan dan transportasi lebih mengedepankan pembangunan berbasis mass transport. Meski dalam perencanaan tata ruang sudah direncanakan hal itu masih dapat diubah menyesuaikan kebutuhan dan kondisi dimasa kedepan. Perencanaan yang tidak tepat masih dapat diubah.
"Kita tidak ingin mewarisi kemacetan kepada anak cucu kita, negara maju yang diprioritaskan pembangunan mass transport yang bagus pembangunan jalan tol meningkatkan pertumbuhan kendaraan yang berdapak pada energi yang dibutuhkan besar dan terus disubsidi dan mengerogoti perekonomian. Perencanaan bisa ter-update ini masih planing state dan bisa diubah," pungkasnya.
Pengamat Kebijakan Publik Iwan Piliang menegaskan bahwa Jokowi harus bisa merealisasikannya sebagai bagian dari mengurai kemacetan di Jakarta yang tak kunjung usai.
“Saat menjadi Gubernur Jakarta mungkin dia (Jokowi, red) belum bisa terlalu ‘memaksa’ terwujudnya tol ini, namun saat menjadi Presiden harus berani merealisasikan Tol JORR,” tegas Iwan kepada Harian Terbit, Kamis sore (4/9).
Jokowi menurut Iwan harus memutus hambatan-hambatan yang selama ini menjadi kendala, seperti mafia tanah, pelaku usaha yang ngawur dengan mengambil peluang namun tidak dijalankan setelah memenangkan tender, dan lain sebagainya.
“Padahal bila pembangunannya direalisasikan, maka akan terdapat multiplier efek, terserapnya tenaga kerja, ramainya warung-warung makan, dan lainnya. Ini yang harus diperhatikan juga, karena tol JORR 2 tak lain dibuat untuk mengurangi kemacetan yang sudah semakin menjadi di Jakarta,” imbuh pendiri Iwan Piliang Center (IPC) ini.
Dia menegaskan bahwa harus ada good wil dari pemerintah pusat. Walaupun telah keluar Perpres, namun bisa diubah. Karena bila tidak maka Jakarta akan stagnan. Begitu juga dengan seluruh stake holder harus mendukung sepenuhnya.
“Harus diakui bahwa selama ini terkendala oleh banyak instrument di bawah dan tingkat atas pun memiliki kepentingan, sehingga masalah ini tak selesai-selesai,” kata Iwan.
Menurut Iwan, saat ini pertumbuhan kendaraan dan pembangunan infrastruktur belum seimbang. Jumlah kendaran menyesaki infrastruktur jalan yang akhirnya menambah kemacetan yang luar biasa, khususnya di Jakarta.
Memindahkan Ibukota juga bukan solusi bagi kemacetan di Jakarta, karena sentra-sentra industri dan pusat bisnis sudah mantap sehingga sulit untuk dialihkan ke kota lainnya. Walaupun dengan dalih mencari tempat yang lebih tepat.
“Penyebab tidak jalannya pembangunan tol JOOR 2 harus dicari dan diselesaikan, untuk masa depan masyarakat luas juga,” ungkap Iwan.
Iwan juga menilai rencana penerapan electronic road pricing (ERP) tidak akan menyelesaikan masalah, namun hanya sebagai tambal sulam belaka, karena kemacetan tidak mudah diurai hanya dengan membayar saat melintasi jalan-jalan tertentu.
Seperti diketahui, tol JORR 2 merupakan jalan tol penghubung antara Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok, dan Bekasi. Hingga saat ini ada delapan ruas dari 17 yang direncanakan, namun belum terbangun.
Tol tersebut ada pada ruas akses Tanjung Priok sepanjang 12,1 kilometer (km), Cibitung-Cilincing 33, 9 km, Cinere-Jagorawi 14,6 km, Depok-Antasari 22,8 km, Serpon-Cinere 10,1 km, Kunciran-Serpong 11,2 km, dan Cengkareng-Kunciran sepanjang 15,2 km.
Diperkirakan untuk membangun satu km jalan tol menelan biaya Rp1 miliar. Total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp34 triliun. Bila dilihat kenyatannya, biaya tersebut memang tidaklah sedikit, namun menurut Iwan, bila dilakukan secara bertahap maka bisa direalisasikan.
Lebih lanjut, Iwan mengemukakan bahwa hal yang sering mengemuka pada saat akan dilakukan pembangunan infrastruktur tak terlepas juga pada pembangunan jalan tol, banyak sekali pihak-pihak yang ikut bermain untuk mendapatkan keuntungan sendiri atau golongan.
“Misalnya saja mulai dari Pemerintah Daerah (Pemda), Badan Pertanahan Nasional (BPN), bahkan kepolisian, dan insider lainnya yang menyatu dan menjadi konglomerasi insider dalam pembebasan tanah,” tutur Iwan.
Semua itu, menurut Iwan menjadi benang kusut dan harus dibenahi. Pemerintah pusat juga perlu ikut turut membenahi agar mafia tanah tidak lagi bebas berkeliaran dan menghambat rencana pembangunan tol JOOR 2.
“Mafia tanah harus masuk pidana, karena mereka biasanya berbuat curang mulai dari mengakali surat dari girik, surat segel, hingga sertifikat tanah. Mereka juga biasa disebut ular tanah yang mematikan,” jelas Iwan.
Pengamat perkotaan dan transportasi Universitas Indonesia, Ali Berawi menilai, pembangunan ruas jalan Tol JOOR 2 perlu dipercepat, bila perlu presiden mengeluarkan Surat Keputusan Presiden (Kepres) berkaitan percepatan pembangunan jalan tol. 13 ruas jalan tol yang masih mangkrak sedianya untuk mengurai kemacetan di Jakarta.
"Kalau mau dipercepat pakai Kepres lebih cepat, kalau memungkinkan 13 ruas jalan tol ini ditinjau efektifitas dilihat masalah kemacetan mobil jalan tol bukan solusi yang cukup efekti," kata Ali.
Menurutnya, pembangunan ruas jalan tol memang dapat mengurangi kemacetan, akan tetapi pertumbuhan kepadatan kendaraan akan mengikuti. "Macet berkurang pasti ini tetap meningkatkan pertumbuhan kepadatan mobil, ini akan bertambah macetnya," terangnya.
Ali mengimbau kepada pemerintah agar segera mempercepat pembangunan ruas tol yang masih mangkrak tersebut. Hal ini berlaku untuk ruas tol yang telah menjalani proses pembangunan, sedangkan untuk yang masih dalam perencanaan dia menyarankan untuk dipertimbangkan dan ditahan pengerjaannya.
"Kalau sudah tahap konstruksi segera diselesaikan kalau yang belum coba ditahan dipertimbangkan kembali, Kalau sudah investasi sampai 50 persen tetap harus dilanjutkan," desaknya.
Dia beranggapan, pembangunan ruas jalan tol di sejumlah wilayah di Jakarta bermuatan politis, hal ini dipengaruhi oleh bisnis dimana Indonesia merupakan pangsa pasar otomotif potensial.
Sehingga industri otomotif memengaruhi kebijakan mengenai perluasan jalan, karena bisnis otomotif tidak akan bergerak jika jalan sebagai sarana kendaraan pribadi sudah tidak memenuhi volume kendaraan. Dia mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam pemenuhan transportasi publik yang seharusnya menjadi prioritas utama.
"Ini kan keputusan politik apakah tetap konsisten publik transportasi pembangunan ruas jalan tol dipengaruhi kepentingan bisnis, Indonesia 'big market' industri otomotif," bebernya.
Lebih lanjut Ali mengimbau agar setiap kebijakan harus mempertimbangkan efek di kemudian hari, sehingga pembangunan yang berhubungan dengan perkotaan dan transportasi lebih mengedepankan pembangunan berbasis mass transport. Meski dalam perencanaan tata ruang sudah direncanakan hal itu masih dapat diubah menyesuaikan kebutuhan dan kondisi dimasa kedepan. Perencanaan yang tidak tepat masih dapat diubah.
"Kita tidak ingin mewarisi kemacetan kepada anak cucu kita, negara maju yang diprioritaskan pembangunan mass transport yang bagus pembangunan jalan tol meningkatkan pertumbuhan kendaraan yang berdapak pada energi yang dibutuhkan besar dan terus disubsidi dan mengerogoti perekonomian. Perencanaan bisa ter-update ini masih planing state dan bisa diubah," pungkasnya.
(Naomy/Angga)